Memprediksi Keindahan Puisi Teras Surga Ujung Timur Pulau Jawa

#bedahpuisi #mbluduscom #KekAtek #repost 




Memprediksi Keindahan Puisi “Teras Surga Ujung Timur Pulau Jawa”, Karya Suhandayana 






Seorang penikmat puisi pernah berujar bahwa ada banyak ragam cara menikmati puisi, misalnya: menikmati keindahan kata dan kalimat puisi dalam kesendirian di kamar yang sepi, atau merasakan betapa isi puisi menjadi semacam juru bicara perwakilan diri atas segala permasalahan yang menghimpit, sehingga menjadi plong bebas lepas setelah membaca puisi, atau serupa menelusuri buku harian yang paling tersembunyi dari pihak lain yang menjadi perhatian penikmat puisi, atau sesekali dalam berpuisi bersuara keras lantang mendayu dayu bagai deklamator, orator kenamaan, atau pun dibaca di dalam hati sambil kebingungan menelisik makna yang tersembunyi di balik diksi. Tentu masih tidak sedikit lagi variasi cara yang bisa dilakukan oleh penikmat puisi, mungkin juga sambil ngopi bareng sesama penikmat puisi.

Menurut sejumlah penikmat puisi pula, masing masing puisi mempunyai sisi sisi yang terasa indah, baik di diksi yang terang benderang seterang cahaya pantulan sinar matahari di siang hari pada musim kemarau, atau temaram bagai cahaya bulan purnama, atau pun gelap gulita di bawah mendung tanpa pendar terang. Semuanya berpotensi bisa ditelusuri. Beberapa di antara cara menelusuri keindahan puisi bisa dilakukan, misalnya sebagai berikut:

  1. Penelusuran kekhasan cara ungkap puisi dibandingkan dengan puisi-puisi sejaman yang telah terbit. Pada jaman kekinian bisa ditelusuri melalui kata kunci di mesin pencari informasi. Adakah yang khas, atau justru sudah umum, atau bahkan sudah kadaluwarsa, telah kedahuluan orang lain?
  2. Penelusuran melalui rekam jejak karya penyair. Hal ini juga bisa didapatkan dari mesin pencari di internet. Sudah berapa puisi yang telah dilahirkan, sebagai penyair aktif yang sering berpuisi, atau kah hanya pasif saja, tidak setiap tahun menulis puisi?
  3. Penelusuran pada puisi itu sendiri. Seolah puisi menjadi sumber informasi, dan mampu berbicara serta menjelaskan pada sang penikmat puisi, tentang apa saja maunya penyair, mulai dari: pilihan huruf, tanda baca, karakter, kata, sampai ke bait, dan batang tubuh puisi.
Melalui satu di antara cara seperti itulah penulis sebagai penikmat puisi, berusaha mengungkapkan cita rasa puisi yang tayang di Jurnal online mbludus.com. Ternyata Jurnal ini telah menayangkan puisi puisi karya Penyair Suhandayana di laman https://mbludus.com/puisi-puisi-suhandayana/.



Gambar : mbludus.com 9 November 2023 



Di laman ini Penyair mengenalkan diri sebagai Suhandayana, bernama pena: KhoHand, yang lahir di Surabaya, pada tanggal 18 Juni 1961. Satu di antara puisinya yang menarik untuk ditelusuri berjudul “Teras Surga Ujung Timur Pulau Jawa”. Puisi ini terkesan berpotensi bisa dinikmati dengan satu di antara cara penikmatan seperti yang telah disampaikan di atas, yaitu melalui puisi itu sendiri. Benarkah demikian dan bagaimana cerita laku penelusuran penikmatannya?

Untuk menjawabnya perlu penelusuran puisi secara utuh. Supaya membantu memudahkan penikmatan, bait baitnya diberi nomor urut, yaitu dari nomor 1 sampai dengan 5. Adapun puisinya seperti di bawah ini.


TERAS SURGA UJUNG TIMUR PULAU JAWA 

the sunrise of Java


1.
Alam Banyuwangi mendendangkan pesona
Nyanyikan debur ombak di penjuru pantai Blambangan
Puncak Raung diikuti gunung-gunung meraih angkasa
membujuk pandangan sejak pagi hingga senja menghalang

2.
Celah bukitan Gumitir memandu jalan kelana
berkelokan mengukir kawasan wana-wisata
Seringkali hujan mengajak rehat di meja hidangan
memicu selera menu pecel-rawon, botok-lebah
atau nasi-cawuk, sambal-tepong penggoda lidah

3.
Secangkir kopi-lanang dari kebun Malangsari
menemani kunang-kunang mengeja tradisi Osing sejati
yang terbaca: tebaran aroma robusta menembus Itali

4.
Selendang Meras Gandrung menghangati malam
di saat rakyat menghelat kawinan dan khitanan
Pesta desa masih menyaji ritual Seblang pengusir bala’
melaras lontar Yusuf bagi bersyukur di musim panen raya

5.
Panorama pagi: mentari singgah di tepian Taman Meru Betiri,
Pantai Penyu berkhidmat, menyimak cerita situs religi
tentang merak hijau dan fauna buas di savana Sadengan
penjaga hawa mistis Alas Purwo penuh misteri


Tanda dini dari keindahan puisi bisa dipindai dari judulnya, untuk puisi besutan Penyair Suhandayana di atas berjudul “TERAS SURGA UJUNG TIMUR PULAU JAWA”.

Diksi dari judul ini sekilas bisa terindikasi sebagai gaya ungkap deklarasi kongklusif, dalam arti semacam pengumuman dari suatu kesimpulan. Pengumuman tentang adanya /Teras Surga/, dan dikunci dengan simpulan tempat di /Ujung Timur Pulau Jawa/, bukan di tempat yang lain.

Penyair sepertinya sengaja menghilangkan kata depan (partikel) “di”, untuk menghasilkan efek rima yang terasa enak dibaca, baik ketika disuarakan keras lantang, maupun tatkala dibaca pelahan di dalam hati. Dengan menghilangkan partikel “di”, dan seolah memindahkannya ke dalam pikiran pembaca, maka judul tersebut semakin menjadi kalimat tidak sempurna, walaupun terdiri dari enam kata yaitu: 1. TERAS, 2. SURGA, 3. UJUNG, 4. TIMUR, 5. PULAU, dan 6. JAWA. Ternyata ke enam kata tersebut tak sanggup menjadi kalimat sempurna, karena persyaratan minimal dari kalimat sempurna terdiri dari: Subyek, Predikat, dan Obyek. Namun kata para ahli sastra bahwa puisi bukanlah puisi jika tidak bisa mempunyai cita rasa dan aturan tersendiri, bahkan puisi bisa mempunyai dunia yang berbeda, lain dari yang lain, termasuk dalam logika berbahasanya.

Begitu juga sang penikmat puisi pun juga kadang mempunyai gaya telusur tersendiri, yang tidak jarang memaksanya untuk tidak bersepakat dengan potensi harapan atau pun pesan Sang Penyair, atau justru bisa menuntun Penyair untuk memperdalam membuat lorong galian pengalaman dunia nyata agar bisa keluar dari kungkungan pikiran yang sudah terlanjur terbelenggu oleh deretan aksara, angka atau karakter, tanda tanda penyusun batang tubuh puisi.

Telusur awal bisa dimulai dengan analogi pemaknaan /Teras surga/ sebagai bagian dari Rumah surga. Tentunya luasan teras pada umumnya lebih sempit dari pada luas rumah secara keseluruhan.

Diksi /Teras surga/ mampu memberi pesan bahwa di /ujung timur pulau jawa/ ada teras surga, berarti berpotensi dimaknai bahwa disana juga ada rumah surga. Ada teras, biasanya selalu ada rumah: ada teras surga berarti ada rumah surga.

“Adakah kesamaan semangat pengertian antara diksi /surga/ di judul puisi dengan menurut pengertian sebagian penganut agama? ”

Jawabannya tentu berbeda.

Pengertian surga, khususnya bagi sebagian penganut agama adalah tempat kehidupan setelah mati, adanya nanti di akhirat sana. Di surga penuh dengan kenikmatan yang belum pernah dirasakan, dan dibayangkan selama hidup di dunia.

Sedangkan diksi /surga/ di judul puisi, sebatas pada metafora yang mempunyai beragam makna, tergantung pada interpretasi pembaca dan penikmat puisi.

Memang diksi di puisi seringkali masih leluasa secara semiotik sekali gus estetik untuk diinterpretasikan oleh pembaca, khususnya bagi penikmat puisi di dalam pikir dan rasa masing-masing [1], termasuk diksi /surga/ lirik di judul puisi. Namun demikian penelusuran kenikmatan lebih lanjut dari judul puisi bisa dipindai pada batang tubuh puisi yang berupa bait-bait di dalamnya, sehingga timbul tanya:

“Apa dan bagaimana yang dimaksud /teras surga/ di judul puisi tersebut?”

Untuk menjawabnya diperlukan pemindaian lanjut pada masing-masing bait.

Siapa tahu ada secercah tanda jawaban di dalamnya.

Adapun bait pertama dari puisi di atas, seperti di bawah ini.

/1.
Alam Banyuwangi mendendangkan pesona
Nyanyikan debur ombak di penjuru pantai Blambangan
Puncak Raung diikuti gunung-gunung meraih angkasa
membujuk pandangan sejak pagi hingga senja menghalang/

Rupanya penyair mempunyai argumentasi dari pernyataan judul /TERAS SURGA UJUNG TIMUR PULAU JAWA/, yaitu disampaikan di bait 1 bahwa yang dimaksud dengan metafora /teras surga/ adalah fenomena keindahan yang merujuk pada /Alam Banyuwangi/, /Blambangan/, dan /Puncak Raung/ dan sekitarnya. Mereka semua serasa alam di surga dunia.

Secara fisik Banyuwangi merupakan nama Kabupaten di ujung timur Jawa Timur. Kota Banyuwangi menjadi ibukota Kab. Banyuwangi. Sedangkan /Blambangan/ saat ini merupakan nama desa di Kecamatan Muncar Kab. Banyuwangi. Menurut sejarah dikatakan bahwa Blambangan adalah nama kerajaan [2], yang pada masanya mempunyai kawasan kekuasaan meliputi Kabupaten Banyuwangi seperti pada saat ini.

Adapun /Puncak Raung/ menurut liputan para pendaki gunung, merupakan puncak di Gunung Raung, tingginya sekitar 3332 m dari permukaan laut [3]. Gunung Raung termasuk kategori gunung berapi aktif. Di Puncak Raung terdapat kaldera, yaitu semacam danau yang pada umumnya terbentuk dari longsoran tanah dan bebatuan di puncak gunung, terjadinya setelah letusan gunung berapi, kemudian membentuk cekungan besar, dan menampung air hujan. Kalderanya berbentuk elips, panjangnya sekitar 2 km, dengan kedalaman mencapai 500 m. Di samping itu Gunung Raung juga merupakan gunung terbesar di pulau Jawa, lembah dan kakinya melingkar bersentuhan dengan tepian tiga kabupaten. Secara administrasi berada di kawasan: Kabupaten Banyuwangi, Kab. Jember, dan Kab Bondowoso.

Melalui informasi tentang Banyuwangi, Blambangan, dan Puncak Raung di atas, tentu berpotensi bisa menghadirkan imajinasi perumpamaan tentang /TERAS SURGA/ di /UJUNG TIMUR PULAU JAWA/. Imajinasi tentang /Alam Banyuwangi mendendangkan pesona/ dan /Nyanyikan debur ombak di penjuru pantai Blambangan/ sementara /Puncak Raung diikuti gunung-gunung meraih angkasa/ dan mampu /membujuk pandangan sejak pagi hingga senja menghalang/.

Lengkap sudah tiga matra, yaitu : darat, pantai dan laut, serta gunung dan angkasa. Semua bersinergi melahirkan keindahan seolah serupa dengan suasana di /teras surga/.

Kenikmatan serasa semakin naik ketika sang penyair mengajak menelusuri /Celah bukitan Gumitir/ yang penuh jalan berbelok, seperti disampaikan di bait 2, di bawah ini.

/2.
Celah bukitan Gumitir memandu jalan kelana
berkelokan mengukir kawasan wana-wisata
Seringkali hujan mengajak rehat di meja hidangan
memicu selera menu pecel-rawon, botok-lebah
atau nasi-cawuk, sambal-tepong penggoda lidah/

/bukitan Gumitir/ bisa ditafsirkan sebagai Gunung Gumitir yang berada di perbatasan antara Kabupaten Jember dan Kab. Banyuwangi. Sepanjang jalan yang membelah Gunung Gumitir di perbatasan dua kabupaten ini, kondisinya berbelok belok, bahkan karena banyaknya belokan mendadak, sebagian orang muda ada yang bilang sebagai belokan sayang, atau lebih tepatnya belokan modus. Sebab ketika naik mobil sebagai penumpang, pada saat tepat di jalan perbelokan, belum juga sempat ambil nafas, misalnya ketika mobil oleng belok kiri, tiba tiba langsung banting stir, mobil belok kanan mendadak, atau sebaliknya. Penumpang pun kaget, dan bisa jatuh terduduk bersandar di pundak orang yang duduk di sebelahnya. Sambil senyum senyum, kemudian berkata: “maaf maaf, tadi ngantuk”.

Gunung Gumitir oleh masyarakat setempat juga dikenal sebagai Gunung Mrawan [4]. Sepanjang jalan berbelok, di tempat tempat tertentu tersedia warung kopi dan makanan menu setempat, khas Banyuwangi semisal /pecel-rawon, botok-lebah, atau nasi-cawuk, sambal-tepong/ dan ditambah /kopi lanang/ seperti disampaikan di bait ke 3.

Menurut sebagian tradisi masyarakat Banyuwangi bahwa tidak semua biji kopi selalu berkeping dua, tetapi ada juga sebagian kecil yang berbiji tunggal. Biji kopi yang berbiji tunggal disebut sebagai kopi lanang. Tentu hargaya lebih mahal dari pada biji kopi berkeping dua, dan dipercaya jika minum kopi lanang bisa menaikkan stamina kebugaran tubuh.

Setelah menelusuri perjalanan Gunung Gumitir, dan merasakan nikmatnya kuliner seperti disampaikan di bait 2 dan 3, tibalah kini menikmati kesenian tradisi Banyuwangi seperti di bait 4 di bawah ini.

/4.
Selendang Meras Gandrung menghangati malam
di saat rakyat menghelat kawinan dan khitanan
Pesta desa masih menyaji ritual Seblang pengusir bala’
melaras lontar Yusuf bagi bersyukur di musim panen raya/

/Meras Gandrung/ seperti di bait 4 di atas merupakan tradisi ritual untuk mewisuda seorang calon Penari Gandrung menjadi Gandrung [5]. Ada banyak hal yang perlu dilakukan oleh calon penari Gandrung agar lulus menjadi Gandrung, misalnya Gurah yaitu membersihkan saluran nafas agar bersuara merdu ketika menyanyikan lagu lagu tradiri Gandrung, Menjaga stamina kesehatan tubuh agar tetap sehat ketika harus menari semalam suntuk, Membaca doa mantra agar diberi tambahan: berkah, selamat, rejeki yang halal, dan sukses selalu dalam kehidupan sehari-hari.

Di samping itu kadang perlu ditambahkan pengetahuan tentang penyembuhan penyakit pada gangguan kesehatan, baik melalui jamu herbal tradisional, atau pun penyembuhan non-medis. Sebab seorang Penari Gandrung juga dipercaya oleh masyarakat tradisi sebagai orang yang bisa mengobati dan menyembuhkan penyakit.

Di samping tari Gandrung yang sering digelar di hajatan pernikahan atau pun khitanan, ada juga tari Seblang yang hanya dipersembahkan sebagai ritual bersih desa, dengan harapan Gusti Alloh SWT berkenan menjauhkan masyarakat desa dari mara bahaya kehidupan, dan justru bisa mendatangkan keberkahan, murah rejeki, damai, dan sehat wal afiat. Tari Seblang digelar oleh Suku Osing asli Banyuwangi, setahun dua kali, yaitu di bulan Syawal, dan bulan Haji.

Satu lagi tradisi yang mengiringi hajatan warga Banyuwangi adalah pagelaran pengajian mocoan Lontar Yusuf, yaitu semacam membaca kitab berhuruf Arab Pegon yang berisi kisah Nabi Yusuf: dari masa kecil, remaja, dewasa, sampai menjadi raja. Pembacaannya disuarakan dalam bahasa Osing, dengan lagu berlogat tradisi masyarakat Osing.

Setelah menikmati diksi tentang perjalanan, kuliner, dan tradisi di /Teras Surga/ dari bait 1 sampai dengan bait 4 di atas, kenikmatannya menjadi berpotensi semakin tersempurnakan manakala memasuki di ruang terbuka di pantai, dan padang savana seperti di bait terakhir, yakni bait ke 5, di bawah ini.

/5.
Panorama pagi: mentari singgah di tepian Taman Meru Betiri,
Pantai Penyu berkhidmat, menyimak cerita situs religi
tentang merak hijau dan fauna buas di savana Sadengan
penjaga hawa mistis Alas Purwo penuh misteri/

/Taman Meru Betiri/ terletak di perbatasan antara Kab. Banyuwangi, dan Kab. Jember.

Taman ini dapat dijangkau dari Banyuwangi melalui jalur sebagai berikut:

Banyuwangi – Jajag – Pesanggaran – Sungai Lembu – Kandangan – Sarongan – Pantai Rajegwesi (pintu gerbang taman nasional) – Sumbersuko – Sukamade [6].

Sukamade adalah wilayah pantai yang terkenal sebagai tempat penyu bertelur.

Di Taman Meru Betiri terdapat berbagai jenis flora dan fauna. Flora, misalnya terdiri dari tumbuhan langka seperti padma Rafflesia zollingeriana, Tanaman hutan, dan berbagai anggrek. Sedangkan Fauna, misalnya: monyet, macan tutul, penyu, rusa, bajing terbang, merak, dan elang.

Setelah puas di Taman Meru Betiri, penyair mengajak hadir ke Padang rumput Savana Sadengan yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo yang dikenal dengan hawa hutan mistisnya, di Kecamatan Tegal Dlimo, Banyuwangi [7].

Savana ini memiliki luas sekitar 84 hektare. Diakui oleh wisatawan dunia sebagai savana yang mirip dengan savana yang ada di Afrika. Adapun binatang liar yang hidup di savana ini antara lain: Banteng, Kijang, Rusa, Babi Hutan, Ajag dan berbagai jenis burung seperti Merak Hijau, dan Jalak Putih. Sedangkan Floranya terdiri dari: tanaman hutan, semak belukar, dan rerumputan.

Penikmatan puisi melalui pemindaian makna, logika dan rasa bahasa berbasis diksi, telah dilakukan seperti uraian di atas. Diksi diksinya terasa cenderung memotret kahanan alam, tradisi dan budaya masyarakat Banyuwangi yang mungkin telah dikunjungi oleh Penyair, atau Sang Penyair mendapatkan informasi dari berbagai sumber, kemudian dituliskan dalam bait bait puisi. Sehingga setelah melakukan pengembaraan pikir, fisik, dan rasa, sepertinya Sang Penyair mendapatkan aura menarik yang disampaikan dalam deklarasi kongklusif di puisinya bahwa Banyuwangi merupakan “Teras surga” di ujung timur Pulau Jawa. Pada puisi “Teras Surga Ujung Timur Pulau Jawa” Penyair seolah benar benar berpotensi sebagai seorang wartawan dalam menyampaikan berita, tanpa sedikitkan ada aroma opini di dalam puisinya. Dengan kata lain penyampaian berita bergaya puisi, atau Puisi bermuatan berita pengembaraan di Banyuwangi.

Tentu masih terbuka peluang untuk menelusuri dari sisi lain, semisal imajinasi dan fiksi tersembunyi, yang kadang justru tak terduga bisa menemukan semangat baru yang mungkin sama sekali tidak terpikirkan sebelum menikmati puisi, misal pengembaraan pikir dan rasa ketika membaca /Teras Surga/. Bisa jadi diksi ini menjadi semacam isyarat tentang adanya /teras surga/ di pikiran dan perasaan pembaca, manakala bersedia menuju ke lokasi matahari terbit, yaitu di ujung timur pulau jawa, bukan ke arah matahari terbenam. Sebab ketika sudah berada di tempat matahari terbit, maka perjalanan kehidupan di peradaban mana pun, akan menerima terang dari pantulan sinar matahari yang menjadi cahaya ketika sinar tersebut menabrak obyek benda padat. Cahaya ini menerangi perjalanan sampai siang hari, dan meredup tatkala menjadi gelap, ketika senja memasuki malam hari. Lokasi matahari terbit, dipandang adanya di ujung timur pulau Jawa, yang bisa diprediksi di sana ada lambang peradaban paripurna, karena di situ terjadi kolaborasi sekaligus sinergi antara alamiah fisik yg disembunyikan dalam diksi: /Alam Banyuwangi/, /Blambangan/, dan /Puncak Raung/, /bukitan Gumitir/, /Taman Meru Betiri/, dan /Savana Sadengan/, beserta rasa dalam diksi kuliner semisal: /pecel-rawon, botok-lebah, atau nasi-cawuk, sambal-tepong/ dan ditambah /kopi lanang/, dipadu padan dengan aroma kedamaian tradisi setempat melalui diksi /Meras Gandrung/, /Seblang,/ dan dipandu dengan diksi lambang spiritual /melaras lontar Yusuf/. Dari sini dapat dinikmati keindahan untuk mendapatkan semangat baru, bahwa perpaduan antara alamiah, pikir, rasa, dan spiritual, memang berawal dari teras surga di lokasi lahirnya harapan baru, dan semangat baru. Kata orang bahwa matahari terbit, selalu dari timur!

SELAMAT berpuisi dan teruslah berpuisi.


Penulis: Kek Atek - Penikmat Puisi tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia


REFERENSI:

1. Ahc Jazuli, Hasan Busri, 2022, “Semiotika Puisi “Selamat Pagi, Bumi’ Karya M. Faizi, Alinea: Jurnal Bahasa Sastra dan Pengajaran, Universitas Suryakancana
2. https://www.kompas.com/…/kerajaan-blambangan-sejarah…
3. https://amp.kompas.com/…/gunung-raung-muntahkan…
4. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gunung_Gumitir
5. https://banyuwangitourism.com/…/sakral-sang-maestro….
6. https://www.dictio.id/…/bagaimana-cara-untuk…/105601/2
7. https://tnalaspurwo.org/tag/savana-sadengan



Publikasi di mbludus.com : 





*

La PERSADA Nusantara

La PERSADA Nusantara
LaPERSADA Group - icon

Kompilasi Grafis

Kompilasi Grafis
Images: ISTIMEWA