#repost #kompasiana.com
Suhandayana,
INGAT, TERINGAT, MENGINGAT
28 Oktober 2015 22:10 | Humaniora
1
Suatu ketika aku menemu sesuatu, lalu spontan bertanya: "Apakah ini?" Aku sadari kalau barang sesuatu itu belum pernah kujumpa sebelum aku bertanya. Aku lebih suka meneliti sendiri perihal sesuatu yang baru saja kutemu. Suntuk mengamati warna, bentuk, kasar-halus, berat, volume, dan ingin tahu keadaan isi atau kedalaman. Tapi, "Ini apa namanya, yaa?" Tanyaku lagi.
Dimensi inderawi lebih mudah menghadirkan pemahaman secara fisik selama mengenali barang sesuatu tadi. Beberapa pertanyaan seputar kadar non-fisik pun bermunculan. Sementara mata, hidung, perabaan, telinga, dan pengecap kutugaskan mendampingi selama pemikiran berfokus pada obyek pengamatan.
Lamat-lamat, aku bisa teringat wujud ataupun sifat dari benda lain yang telah kukenali nama dan asal-usulnya, bahkan pernah kumanfaatkan beberapa kali. Dan mulailah aku membanding-bandingkan kemiripan, keserupaan, maupun perbedaan. Lalu merabai berbagai nama dan membayangkan istilah yang mungkin cocok bagi sesuatu tadi. Selalu kucatat apa saja yang kudapat selama meneliti. Kadang agak lama tak kuperhatikan lagi sesuatu itu. Kutunda untuk menjelajah lebih dalam, karena kebutuhan harian sangat mendesak untuk segera dipenuhi. Famili atau teman lama datang menjeda kesibukanku, namun mereka sekiranya tak tertarik dengan apa yang sedang kupelajari.
Bagaimana jika terpaksa tak kuketahui nama benda atau peristiwa itu walau sudah aku tahu sedikit kegunaannya? Biasanya, aku menuju referensi pustaka, bertanya ke para ahli, atau mendiskusikan dengan kawan komunitas pecinta ini-itu. Atau, diam-diam aku merancang nama sesukaku. Bisa kunamakan sesuai bentuk, asal mula di mana kutemu, atau nama yang kupertimbangkan dari kemungkinan fungsi dan manfaat benda atau sesuatu itu. Maksudku dengan mengenal atau memberi nama, agar suatu saat mudah untuk mengingat atas obyek atau ranah yang sedang kupikirkan atau kubahas.
2
Beda dengan yang kulakukan kepada semua anak kandungku. Ia telah kupilihkan nama-nama yang baik (dan patut sebagai doaku bagi keselamatan dan kemulyaan keturunanku) jauh sebelum mereka lahir di dunia dari garba bunda mereka. Karena kutahu mereka adalah sesuatu juga, karunia-Nya. Anak-anakku sudah hadir dengan memberi tanda-tanda cukup jelas ketika sembilan bulan lebih dalam kandungan istri-istriku. Dinamakan bayi manusia atau manusia bayi. Tapi sebaiknya kunamai saja secara khusus agar kelak aku memanggilnya dengan nama diri.
Ketika beberapa anak kandungku sudah dewasa, masing-masing sering berada di kota lain dalam waktu cukup lama. Beberapa anakku bahkan sudah menetap di sebuah desa di kabupaten lain. Bila keluarga kami memperbincangkan mereka, cukuplah aku sebut nama anak itu sebagai pengingat si anak manakah yang dimaksudkan dalam pembicaraan. Menambah keasyikan ketika mengingat seorang anakku, aku ambil album foto atau video hingga memperjelas benakku gambaran wajah, sosok, dan sepak-terjang anakku semasa kecil, remaja, dan dewasa. Jauh di mata dekat di hati.
3
Dalam kesempatan mengenyam pendidikan, memperluas cakrawala pengetahuan, dan memperdalam pemahaman seringkali aku dikenalkan pada nama-nama, istilah, definisi, dan logika. Baru melangkah ke pembuktian secara alamiah, membangun pernyataan secara teoritis-ilmiah, ataupun sekedar menajamkan pemikiran kritis atas suatu gejala (fenomena) dan kejadian nyata. Mengenai hal yang sangat vital dan menurutku amat berpengaruh dalam hidup dan kehidupan manusia (alam) maka sebisa mungkin akan aku tempuh pembuktian paripurna; manakah yang dimaksud oleh serangkai nama, istilah, definisi, ajaran, dan keyakinan.
Begitulah, jika aku sudah pernah diberitahu nama sesuatu yang utama dan ingin menemui gagrak hakiki, maka aku lebih dahulu mengidentifikasi alamat, posisi, atau kelaziman di mana yang empunya nama (istilah, definisi) biasa berada dan dalam waktu tertentu. Kalau perlu kubawa kompas, peta, bahkan seorang pemandu yang kupercaya tahu tanda atau arah ke koordinat lokasi dan waktu, apalagi jika ia sudah lebih dulu menemui, menyaksikan. Aku hanya ingat nama penting, berbekal aneka macam sifat (analisis keadaan), dan belum (atau lupa sama sekali tidak ingat bahwa) pernah bertemu kenyataan, sosok, atau peristiwa utama.
4
Jadi, sarat ingat itu jika kita pernah bertemu dengan yang kita (kelak dan seterusnya selalu dapat) ingat? Bagaimana kita bisa ingat jika ketemu saja tidak, walau sekali atau sepintas? Bila sudah pernah bertemu, tapi suatu saat terlupa entah karena apa, akan lebih mudah teringat atau mengingat kembali dengan berbagai metode dan dengan menggunakan alat deteksi (keilmuan) yang tepat. Beda dengan tidak tahu sama sekali tapi mengaku tahu, maka ketika seseorang datang kepadamu membawa barang sesuatu, kaupun tak akan spontan mengenali barang sesuatu itu sesuai dengan kesaksian (palsu) dan pemahamanmu bahwa itulah yang dinamai ini atau itu. Benar?
Boleh direnung, adakah sebuah nama turunan (derivat), nama asing, nama seremeh apapun, nama yang berakar dari latar bahasa / bangsa manapun, atau nama imajiner yang tak akan mungkin kau jumpa wujud, sifat, dan perbuatan yang dimaksud (dikandung) nama yang pernah kau sebut? Mungkin saja kita sudah ketemu, namun mengapa bisa lupa, tak teringat, bahkan sepertinya tak perlu mengingat apa atau sesuatu dengan nama tertentu.
Sementara, bagi pembaca yang setuju setiap nama pasti ada si empunya nama. Baiklah. Kalau begitu, manakah wujud, sifat, dan perbuatan yang nyata dan asli dari istilah atau iktikat 'soempah pemoeda', kebijaksaan, kedaulatan rakyat?
Sumber :
- https://www.kompasiana.com/suhandayana/5630c860169373770a6e89fb/ingat-teringat-mengingat?page=all 28 Oktober 2015
© 2015 AKUNDAstudio Edumedi@rt | AKUNDA.net |
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
*